Cerpen: Bagian Dari Rindu
Pesona Krueng Aceh di Lamnyong ;)
Seulawah Agam bersembunyi dari balik
kabut petang, mesin-mesin kendaraan menderu pelan, mungkin karena hujan, mereka
berusaha menjaga keseimbangan kendaraan. Lampu-lampu proyek pembangunan
jembatan Lamnyong dihidupkan, hari mulai gelap meski jam baru menunjukkan pukul
17.25 Wib. Mesin-mesin pembangunan jembatan Lamnyong masih melaksanakan
kerjanya.
Krueng Aceh
memelukku, entahlah, aku sudah lama tak mengunjunginya. Hanya tinggal
menghitung hari, Ramadhan is coming. Krueng Aceh sejauh mana pun ia
terbentang, masih jauh terbentang jarak agar rindu bertemu waktu. Wajah-wajah
penuh ketulusan itu, aku ingin segera memeluk mereka. Namun, waktu
memenjarakanku di sini.
Leumang
Ini sudah tahun ke
11, menyambut hari penting itu tanpa mereka. Tak ada lagi tradisi tot
leumang(1) semenjak hari itu. Sendiri menjalani hidup tanpa
mereka. Rindu ini rasanya ingin membuncah. Ada jerit yang tertahan di hati. Ada
air mata yang bersembunyi di balik kelopak mata. Entah bagaimana harus
kuperlakukan diri yang kini kembali menjadi manusia linglung.
Bukan ingin
menyalahkan takdir tapi hanya menangisi nasib yang tak berujung. 11 tahun yang
lalu, aku bisa lebih tegar dari sekarang, karena saat itu aku belum mengenal
yang namanya perasaan, aku hanya bisa merasakan. Riak-riak ombak kecil
melantunkan nada sendu tak bernoktah. Seulawah perlahan menghilang. Hanya
tersisa aku, manusia yang tak tahu malu.
Andai saja waktu
bisa diputar, aku akan mendengarnya dan memeluknya lebih erat. Tapi, tidak,
waktu itu sudah amat jauh berlalu. Aku tak mungkin meminta Tuhan untuk
mengembalikan waktu itu. Itu kesalahanku. Gurat kekecewaan itu, gurat yang
terbentuk dengan sempurna saat ia memanggilku terakhir kalinya.
Wahai senja
yang bersembunyi di balik petang.....
Kembalilah!
Jangan mengukungku
dengan kerinduan
Yang kau sebut
dalam sajak-sajakmu
Jangan biarkan aku
mendurhakai Tuhan
Yang telah
menciptakanku dengan amat sempurna
Wahai langit yang
kutahu
Menyembunyikan
kisah pilu di balik keperkasaannya
Jangan biarkan aku
menjadi manusia linglung
Tunjukkan aku
jalan terbaik untuk segera pergi dari
Semua kekalutan
jiwa ini
*04/06/2016
Jingga kembali
melukis langit petang di balik awan kelabu. Masih enggan beranjak dari tempat
ini. Dawai rindu itu masih mengalun kencang. Ah, nasib! Sungguh iri melihat
mereka yang bercerita tradisi meugang(2) dan
aktivitas ramadhan lainnya. Lalu cerita apa yang bisa kubanggakan jika semua
lembarnya berhiaskan tinta merah yang sendu?
Senyum, tawa,
mungkin hanya itu yang bisa kubanggakan pada mereka. Senyum dan tawa palsu yang
kupahat setiap waktu. Aku adalah pelakon dari cerita yang kukarang. Aroma
seulanga menelisik hidungku. Bulu kuduk berdiri seketika.
Gulungan ombak hitam yang datang
seketika menghantam kota kami, meluluh lantakkan semua yang ada, merenggut
jiwa-jiwa orang tercinta, mayat-mayat yang berserakan di jalan, yang mengapung
di krueng Aceh. Bayangan itu begitu jelas tergambar, memutar kembali memoar-memoar
pengukung jiwa. Tangisan itu, jeritan minta tolong. Yaa Allah! Sungguh!
Bagaimana bisa aku melupakan memoar itu, sedang bagian jiwaku ada di sana?
Toa mesjid mulai mengumandangkan
azan ke seluruh penjuru kota. Aku segera beranjak dari tempat ini bertemankan
kepiluan yang masih membeku di hati menuju Rabb yang amat sering kulupakan.
Rabb, Dia-lah tempat terbaik menyandarkan hati.
***
Menyambut shubuh pertama ramadhan
dengan secawan kopi yang kusiapkan sendiri tadi. Potret keluarga kami 11 tahun
yang lalu saat berbuka puasa bersama terpajang di atas televisi. Apa yang bisa
kulakukan selain menatapnya penuh dengan rindu yang terus menggertakku? Peluk
ibu, sungguh aku amat merinduinya.
“Sudahlah, Fur. Jangan berlarut-larut dengan kesedihan. Waktu itu
berjalan ke depan, bukan mundur ke belakang. Jadi kalau kau di belakang terus,
kapan kau maju? Kau akan begitu-begitu saja,” kata seseorang yang baru muncul
dari arah dapur.
Aku hanya menghela
nafas sambil memperhatikan mimik mukanya berbicara. Wajah putih ovalnya dengan
polesan kumis tipis menatap ke arah manusia tak tahu malu ini dengan iba.
“Kau ingat bukan kisah Rasulullah saw yang merupakan seorang yatim
piatu? Cobalah teladani sikap beliau. Meskipun beliau yatim piatu, beliau tidak
berlarut dalam kesedihan, beliau justru lebih kuat dari rasa sakit yang Allah
timpakan pada beliau, beliau menjadi pemimpin dan teladan umat di muka
bumi.....”
“Aku tahu, Fur. Kau sedih ramadhan kau lalui sendiri, kau sedih,
kau ingat mamak kau dulu cam mana dia siapkan sahur dan berbuka untuk kau dan
keluarga, kau iri lihat orang-orang sekitar kau yang melalui ramadhan bersama
keluarga mereka. Tapi, ayolah, Furqan! Buat apa kau iri pada mereka? Itu
kehidupan mereka, ini kehidupan kau. Jika kau sibuk melihat kehidupan orang,
kapan kau benar-benar menjalani kehidupan kau sendiri?”
Kakiku mulai
menggerakkan langkahnya, meninggalkan lelaki itu seorang diri.
THE END
(1). Tot Lemang artinya bakar lemang. Ini merupakan tradisi masyarakat Aceh dalam menyambut hari penting, seperti menyambut ramadhan. Lemang merupakan makanan khas Aceh yang terbuat dari beras ketan lalu dimasukkan ke dalam bambu muda yang telah dilapisi dengan daun pisang.
(2). Meugang merupakan tradisi masyarakat dalam menyambut hari-hari besar islam, biasanya dilaksanakan sehari menjelang hari besar islam seperti, puasa, idul fitri dan idul adha. Di hari meugang, ibu-ibu memasak makanan yang berbeda dari hari biasanya, seperti sapi, kerbau dan ayam yang disajikan dalam bentuk kari/rendang, sop, dan sebagainya.
Komentar
Posting Komentar